frekuensi gen dan hukum hardy-weinberg
DASAR PEMULIAAN TERNAK
Oleh : Mersi (D1B4 10 011)
FREKUENSI GEN
A. Keseimbangan Genetik
1. Kawin Acak
Jika kesempatan seekor pejantan mengawini betina (yang mana saja) di dalam suatu populasi sama dengan pejantan lain di dalam populasi tersebut maka dikatakan bahwa pada populasi tersebut terjadi kawin acak.
Pada suatu kelompok ternak yang besar di padang pengembalaan terbuka diasumsikan 1/3 dari sapi berwarna merah dan 2/3 berwarna hitam, dengan asumsi bahwa warna-warna itu ada pada sapi jantan dan betina. Jika terjadi kawin acak maka peluang seekor sapi jantan merah mengawini sapi betina merah adalah 1/3 x 1/3 = 1/9. Kemungkinan-kemungkinan persilangan lain dapat dilihat Tabel 1.1.
TABEL 1.1. PERSILANGAN ACAK PADA KELOMPOK SAPI YANG TERDIRI DARI 1/3 BERWARNA MERAH DAN 2/3 BERWARNA HITAM
Warna Pejantan | Warna Betina | Peluang Perkawinan |
Merah | Merah | 1/3 x 1/3 = 1/9 |
Merah | Hitam | 1/3 x 2/3 = 2/9 |
Hitam | Merah | 2/3 x 1/3 = 2/9 |
Merah | Hitam | 2/3 x 2/3 = 4/9 |
Total | 9/9 = 1 |
Ada populasi sapi yang terdiri dari 50% bertanduk dan 50% tidak bertanduk. Sapi yang bertanduk memiliki derajat dominasi yang lebih kuat dibanding sapi yang tidak bertanduk. Dengan demikian, seekor sapi jantan bertanduk memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mengawini betina-betina yang ada dalam populasi tersebut jika dibandingkan dengan pejantan yang tidak bertanduk. Dalam kasus ini sistem perkawinan yang terjadi tidak seacak sistem perkawina pada kasus pertama. Contaoh kawin tidak acak lainnya adalah campur tangan peternak untuk menentukan ternak-ternak mana saja yang boleh dan yang tidak boleh dikawinkan.
2. Hukum Hardy-Weinberg
Hukum Hardy-Weinberg ditemukan oleh ahli fisika W. Weinberg dan ahli matematika G.H. Hardy pada tahun 1908. Kedua ahli tersebut berasal dari Inggris.
Untuk menjelaskan hukum ini digunakan contoh perkawinan sapi shorthorn warna merah, putih dan roan. Seperti diketahui, sifat ini dikontrol oleh dua alel yang kodominan, yaitu alel merah (R) dan alel putih (r). jika kita asumsikan bahwa frekuensi gen merah adalah p dan frekuensi gen putih adalah q, dengan p = 0,7 dan q = 0,3 maka proporsi sapi merah dengan genotip RR adalah p2 = (0,7)2 = 0,49, proporsi sapi putih = q2 = (0,3)2 = 0,09, dan proporsi sapi roan = 2pq = 2 (0,7) x (0,3) = 0,42. Angka dua di depan pq disebabkan oleh adanya dua kemungkinan terbentuknya sapi roan, yaitu dari pertemuan sperma yang mengandung gen R dengan sel telur yang mengandung gen r dan dari sperma yang mengandung gen r dengan sel telur yang mengandung gen R.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan hukum hardy-weinberg.
1) Jumlah frekuensi gen dominan dan resesif (p + q) adalah 1.
2) Jumlah proporsi dari ketiga macam genotip (p2 +2pq + q2 ) adalah 1.
Jadi, pada dasarnya hukum ini menyatakan bahwa frekuensi gen dominan dan resesif pada suatu populasi yang cukup besar tidak akan berubah dari satu generasi ke generasi lainnya jika tidak ada seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic drift. Keadaan populasi yang demikian disebut dalam keadaan equilibrium (dalam keadaan seimbang).
Hukum Hardy-Weinberg antara lain memungkinkan perkiraan frekuensi gen dalam populasi dengan dominasi sempurna dimana hanya genotipe-genotipe dari homozigot resesif yang dapat ditentukan dari fenotipe.
Hukum Hardy-Weinberg antara lain memungkinkan perkiraan frekuensi gen dalam populasi dengan dominasi sempurna dimana hanya genotipe-genotipe dari homozigot resesif yang dapat ditentukan dari fenotipe.
B. Perhitungan Frekuensi Gen
1. Kodominan
Perhitungan frekuensi gen untuk sifat-sifat yang dikontrol oleh sepasang alel kodominan relatif lebih mudah. Kita dapat dengan mudah membedakan individu yang genotip homozigot dominan, heterozigot, dan homozigot resesif hanya berdasarkan fenotipnya saja.
Agar lebih jelas dapat dilihat contohnya pada ayam. Jika pada suatu kelompok ayam terdapat 150 ekor ayam yang terdiri dari 95 ekor berwarna hitam, 50 ekor berwarna biru, dan 5 ekor yang berwarna putih maka dengan menggunakan B untuk gen hitam dan b untuk gen putih diperoleh genotip ketiga ayam ini adalah BB (hitam), Bb (biru), dan bb (putih). Setiap ayam hitam membawa 2 gen B. jika terdapat 95 ekor ayam hitam maka jumlah gen B adalah 2 x 95 = 190. Setiap ayam putih membawa sepasang gen b. jika ada 5 ekor ayam putih maka jumlah gen b = 2 x 5 =10. Ayam biru membawa 1 gen B dan 1 gen b. jadi jika ada 50 ekor ayam biru maka jumlah gen B = 50 dan jumlah gen b = 50. Jumlah gen B pada populasi tersebut adalah 190 + 50 = 240. Jumlah gen b adalah 10 + 50 = 60. Jadi, frekuensi gen B yang ada pada populasi tersebut adalah 240/300 = 0,8 (80%), sedangkan frekuensi gen b adalah 60/300 = 0,2 (20%).
Jika terjadi kawin acak pada populasi tersebut maka proporsi ayam hitam pada populasi tersebut adalah p2 = (0,8)2 x 150 = 96 ekor, proporsi ayam biru = 2pq x 150 = 2 (0,8)(0,2) x 150 = 48 ekor, sedangkan proporsi ayam putih = q2 x 150 = (0,8)2 x 150 = 6 ekor. Proporsi ayam hitam, biru, dan putih pada populasi tersebut mendekati nilai harapan. Hal ini menunjukkan bahwa pada [populasi tersebut terjadi kawin acak. Jika penyimpangan antara nilai pengamatan dan nilai harapan cukup besar maka dikatakan tidak terjadi kawin acak.
2. Dominan Penuh
Perhitungan frekuensi gen untuk sifat-sifat yang diwariskan secara dominan penuh memerlukan cara yang sedikit berbeda. Hal ini karena antara individu yang bergenotip homozigot dominan dan yang bergenotip heterozigot tidak dapat dibedakan hanya dengan berdasarkan fenotipnya saja.
Jika pada suatu peternakan terdapat 230 ekor sapi yang terdiri dari 147 ekor sapi tidak bertanduk dan 83 ekor sapi bertanduk maka proporsi sapi yang tidak bertanduk adalah 147/230 = 0,639 dan sapi yang bertanduk = 83/230 = 0,361. Jika diasumsikan bahwa frekuensi gen dominan adalah p, sedangkan frekuensi gen resesif adalah q maka proporsi sapi yang tidak bertanduk = p2 + 2pq = 0,639. Dalam hal ini 2pq adalah sapi yang bertanduk heterozigot. Proporsi sapi yang bertanduk = q2 = 0,361. Dari kedua persamaan itu diperoleh frekuensi gen bertanduk (resesif) = = = 0,601. Frekuensi gen tidak bertanduk = 1 – q = 1 – 0,601 = 0,399.
Sapi yang tidak bertanduk homozigot = p2 + 230 = (0,399)2 x 230 = 36,6 ekor dibulatkan menjadi 37 ekor. Sapi yang tidak bertanduk heterozigot adalah 2pq = 2 (0,601)(0,399) x 230 ekor = 110,3 ekor dibulatkan menjadi 110 ekor.
3. Sifat yang Diwariskan secara Sex-influenced
Perhitungan frekuensi gen untuk sifat-sifat yang diwariskan secara sex influenced harus berdasarkan jenis kelamin. Sebagai contoh, diasumsikan bahwa pada kelompok sapi ayrshire terdapat 200 ekor sapi yang terdiri dari 49 ekor sapi betina yang berwarna mahagony, dan 51 ekor sapi betina yang berwarna merah, 91 ekor sapi jantan berwarna mahagony, dan 9 ekor sapi jantan berwarna merah. Pada populasi sapi betina, proporsi sapi berwarna mahagony = 49/100 = 0,49. Jadi, frekuensi gen mahagony pada populasi ini adalah = 0,7. Frekuensi gen merah = 1 – 0,7 = 0,3. Pada populasi jantan, proporsi sapi jantan merah = 9/100 = 0,09 dan frekuensi gen merah = = 0,3. Frekuensi gen putih = 1 – 0,3 = 0,7. Jumlah individu heterozigot untuk kedua jenis kelamin adalah 2pq = 2(0,7)(0,3) x 100 = 42 ekor. Pada sapi betina, 42 ekor sapi termasuk diantara 51 ekor sapi betina merah. Pada sapi jantan, 42 ekor sapi itu termasuk diantara 91 ekor sapi berwarna mahagony.
Sebagai panduan, proporsi individu untuk sifat-sifat yang diwariskan secara sex influenced dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. PROPORSI SAPI AYRSHIRE YANG BERWARNA MERAH DAN MAHAGONY PADA POPULASI SAPI JANTAN DAN BETINA
Genotip | Fenotip (proporsi Individu) | |
Jantan | Betina | |
MM | Mahagony (p2 ) | Mahagony (p2 ) |
Mm | Mahagony (2pq ) | Merah (2pq) |
Mm | Merah (q2 ) | Merah (q2 ) |
4. Sifat-sifat yang diwariskan secara sex linked
Jika diasumsikan pada suatu populasi yang terdiri dari 2.000 ekor ayam, terdapat 1.000 ekor ayam jantan dan 1.000 ekor ayam betina dijumpai 61 ekor ayam betina polos dan 4 ekor ayam jantan lurik, maka frekuensi gen polos pada populasi ayam betina adalah 61/1.000 = 0,061. Frekunesi itu juga merupakan frekuensi gen polos, karena ayam betina hanya memiliki satu kromosom Z. Frekuensi gen lurik = 1 – 0,061 = 0,939.
Proporsi ayam jantan polos = 4/1.000 = 0,04. Frekuensi gen polos pada jantan = √0,04 = 0,061. Frekuensi gen lurik pada populasi ayam jantan = 1 – 0,061 = 0,939.
Diantara 996 ayam jantan lurik terdapat 2pq individu yang heterozigot, yaitu sebanyak 2 x 0,939 x 0,061 x 1.000 = 114 ekor. Perlu dicatat bahwa ayam jantan lurik heterozigot itu tidak bisa dibedakan dengan ayam jantan lurik homozigot.
5. Alel ganda
Seperti telah dijelaskan bahwa alel ganda berhubungan dengan sifat-sifat yang dikontrol oleh 3 alel atau lebih. Cara perhitungan frekuensi gen pada prinsipnya sama dengan cara yang telah dibahas di atas. Namun, rumusnya harus diperluas menjadi (p + q + r)2 = 1; p2 + 2pq + q2 + 2pr + 2qr + r2 = 1. Dalam hal ini p, q, dan r masing-masing adalah frekuensi gen untuk alel 1, 2, dan 3.
Untuk melatih cara penggunaan persamaan-persamaan itu, diambil contoh 3 alel, yaitu pola warna sapi hereford, pola warna sapi angus (polos), dan pola warna sapi FH. Pola warna herefords dikontrol oleh gen dominan SH, pola warna angus dikontrol oleh alel S, dan pola warna sapi FH dikontrol oleh alel s. Derajat dominasi ketiga alel ini adalah SH > S > s. jika diasumsikan bahwa frekuensi ketiga alel itu adalah p, q, dan r dengan frekuensi masing-masing (0,2), (0,5), dan (0,3) maka proporsi sapi yang berpola hereford = p2 + 2 pq + 2 pr = (0,2)2 + 2(0,2)(0,5) + 2(0,2)(0,3) = 0,36 dengan genotip SHSH, SHS, dan SHs, proporsi sapi polos = q2 + 2 qr = (0,5)2 + 2(0,5)(0,3) = 0,55 dengan genotip SS dan Ss, serta proporsi sapi berpola FH = (0,3)2 = 0,09 dengan genotip ss.
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Frekuensi Gen
1. Seleksi
Seleksi merupakan suatu proses yang melibatkan kekuatan-kekuatan untuk menentukan ternak mana yang boleh berkembang biak pada generasi selanjutnya. Kekuatan-kekuatan itu bisa dikontrol sepenuhnya oleh alam yang disebut seleksi alam. Jika kekuatan itu dikontrol oleh manusia maka prosesnya disebut seleksi buatan. Kedua macam seleksi itu akan merubah frekuensi gen yang satu relatif terhadap alelnya. Laju perubahan frekuensi gen pada seleksi buatan lebih cepat jika dibandingkan dengan seleksi alam.
Untuk mendemonstrasikan peran seleksi dalam mengubah frekuensi gen, diambil suatu contoh populasi yang terdiri dari beberapa ribu sapi yang bertanduk dan yang tidak bertanduk. Jika diasumsikan bahwa frekuensi gen bertanduk dan yang tidak bertanduk pada populasi tersebut masing-masing 0,5 (bila terjadi kawin acak) maka sekitar 75% dari total sapi yang ada tidak bertanduk dan 25% bertanduk. Dari 75% sapi yang tidak bertanduk, sebanyak 1/3 bergenotip homozigot dan 2/3 bergenotip heterozigot.
Jika dilakukan seleksi dengan cara mengeluarkan semua sapi bertanduk dari populasi tersebut maka gen resesif yang tertinggal hanya pada sapi-sapi yang heterozigot. Setelah dilakukan seleksi, diantara 75 sapi yang tidak bertanduk, terdapat 50% yang heterozigot. Jadi, diantara 75% sapi yang tidak bertanduk terdapat 50 gen resesif. Jumlah gen di lokus pada 75 ekor sapi adalah 150. Oleh karena itu, frekuensi gen resesif setelah proses seleksi adalah 50/150 = 0,333 dan frekuensi gen dominan = 100/150 = 2/3 = 0,667.
Diantara anak sapi yang dihasilkan dari kelompok sapi terseleksi masih terdapat (1/3)2 sapi yang bertanduk. Dengan menggunakan prosedur seleksi yang sama pada setiap generasi maka frekuensi gen bertanduk yang baru adalah 0,25. Sedangkan persentase anak sapi yang bertanduk pada generai selanjutnya adalah (0,25)2 x 100% = 6,25%. Kurva A pada Gambar 7.1 menggambarkan perubahan frekuensi gen dominan dan resesif untuk beberapa generasi seleksi terhadap gen yang resesif.
Laju perubahan frekuensi gen dapat lebih cepat jika beberapa gen diseleksi dalam satu generasi. Sebagai contoh, jika satu tetua yang heterozigot di culling untuk setiap genotip homozigot resesif maka laju perubahan frekuensi gen akan lebih cepat (Kurva B). Dengan menggunakan prinsip yang sama, dapat disimpulkan bahwa jika kedua tetua heterozigot dapat di culling bersama-sama dengan genotip homozigot resesif maka laju perubahan frekuensi gen akan lebih cepat lagi.
2. Mutasi
Mutasi adalah suatu perubahan kimia gen yang berakibat berubahnya fungsi gen. jika gen mengalami mutasi dengan kecepatan tetap maka frekuensi gen akan sedikit menurun, sedangkan frekuensi alel akan meningkat. Laju mutasi bervariasi dari satu kejadian mutasi ke kejadian mutasi lain. Namun, laju tersebut relatif rendah (kira-kira 1 dalam 1 juta penggandaan gen).
Sebagai gambaran, diambil contoh frekuensi gen merah pada sapi angus, yaitu antara 0,05-0,08. Jika terjadi kawin acak maka akan dijumpai 25-64 ekor sapi merah dari setiap 10.000 kelahiran. Anak sapi yang berwarna merah dan juga tetua yang heterozigot akan dikeluarkan dari peternakan. Secara teoritis frekuensi gen merah akan menurun mendekati angka nol. Namun, kenyataannya frekuensi gen merah tetap antara 0,05-0,08 dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal itu bisa dijelaskan dengan menggunakan teori mutasi. Diduga bahwa laju mutasi gen hitam menjadi gen merah sama dengan laju seleksi terhadap gen merah sehingga tercapai suatu keseimbangan.
3. Percampuran populasi
Percampuran dua populasi yang frekuensi gennya berbeda dapat mengubah frekuensi gen tertentu. Frekuensi gen ini merupakan rataan dari frekuensi gen dari dua populasi yang bercampur.
Jika seorang peternak memiliki 150 ekor sapi dengan frekuensi gen bertanduk = 0,95 (bila terjadi kawin acak) maka sekitar 90% dari sapi-sapinya akan bertanduk. Selanjutnya, jika diasumsikan bahwa ada enam pejantan baru yang dimasukkan ke peternakan untuk memperbaiki mutu genetik ternak-ternak yang ada. Dari enam pejantan yang dimasukkan terdapat 1 ekor yang bertanduk, 2 ekor yang tidak bertanduk heterozigot, dan 3 ekor yang tidak bertanduk homozigot. Frekuensi gen bertanduk pada kelompok pejantan = 1/6 = 0,333. Dengan asumsi bahwa tidak ada sapi lain yang masuk ke dalam peternakan maka frekuensi gen bertanduk pada populasi itu setelah terjadi kawin acak selama 1 generasi adalah (0,950 + 0,333)/2 = 0,64.
4. Silang dalam (inbreeding) dan silang luar (outbreeding)
Silang dalam merupakan salah satu bentuk isolasi secara genetik. Jika suatu populasi terisolasi, silang dalam cenderung terjadi karena adanya keterbatasan pilihan dalam proses perkawinan. Jika silang dalam terjadi antargrup ternak yang tidak terisolasi secara geografis maka pengaruhnya juga akan sama. Oleh sebab itu, silang dalam merupakan suatu isolasi buatan. Sebenarnya silang dalam tidak merubah frekuensi gen awal pada saat proses silang dalam dimulai. Jika terjadi perubahan frekuensi gen maka perubahan itu disebabkan oleh adanya seleksi, mutasi, dan pengaruh sampel acak.
Jika silang luar dilakukan pada suatu populasi yang memiliki rasio jenis kelamin yang sama dengan frekuensi gen pada suatu lokus yang sama pada kedua jenis kelamin maka frekuensi gen tidak akan berubah akibat pengaruh langsung silang luar.
5. Genetic drift
Genetic drift merupakan perubahan frekuensi gen yang mendadak. Perubahan frekuensi gen yang mendadak biasanya terjadi pada kelompok kecil ternak yang dipindahkan untuk tujuan pemuliaan ternak atau dibiakkan. Jika kelompok ternak diisolasi dari kelompok ternak asalnya maka frekuensi gen yang terbentuk pada populasi baru dapat berubah. Perubahan frekuensi gen yang mendadak dapat pula disebabkan oleh bencana alam, misal matinya sebagian besar ternak yang memiliki gen tertentu.
Referensi: Noor, R.R. 2008. Genetika Ternak. penebar Swadaya,Jakarta.
Warwick, E.J., dkk. 1995. Pemuliaan Ternak. Gajah Mada Universitas Press, Yogyakarta.